“KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.”
Kalimat tersebut bukan merupakan suatu kalimat yang asing di telinga kita. Sumpah Pemuda, yang dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928, merupakan suatu pengakuan dari Pemuda-Pemudi yang mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Mohammad Yamin menjelaskan bahwa ada lima faktor alat pemersatu bangsa, yakni sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kemauan.
Dari apa yang dirumuskan oleh Pemuda-Pemudi Indonesia 88 tahun yang lalu menjelaskan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa kita dan juga sebagai identitas bangsa kita. Meskipun Indonesia terdiri atas 17.503 pulau tetapi pemuda saat itu sadar akan pentingnya bahasa yang diperlukan untuk menyatukan antar pulau maupun antar suku. Tapi apakah Bahasa Indonesia masih menjadi bahasa persatuan di zaman modern ini?
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dihadapkan pada suatu tantangan yang tidak ringan pada masa kini. Majunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga memaksa Bahasa Indonesia untuk lebih dinamis. Istilah-istilah baru muncul mulai dari hasil serapan kata-kata Bahasa Inggris maupun bahasa yang sehari-hari masyarakat gunakan. Dari sana muncul masalah baru tentang fungsi Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa kita.
Selain itu, perkembangan teknologi juga membuka pintu bagi budaya asing untuk masuk ke Indonesia. Budaya asing tersebut dengan mudahnya mempengaruhi budaya Indonesia terutama bagi pada remaja. Remaja Indonesia dengan mudah terwesternisasi oleh budaya negatif luar negeri. Budaya asing juga menghasilkan dampak yang signifikan bagi Bahasa Indonesia. Dampaknya, remaja masa kini lebih suka memakai istilah asing untuk mendeskripsikan suatu hal karena mereka menganggap dengan menggunakan istilah asing akan dinilai lebih keren dan lebih modern.
Budayawan Indonesia, Franz Magnis Suseno atau akrab disapa Romo Magnis, mengatakan bahwa penggunaan Bahasa Indonesia jangan sampai luntur walaupun masyarakat masa kini sudah mahir berbahasa Inggris.
“Bisa bahasa inggris sebagai bahasa asing itu baik tetapi sebelumnya harus tahu bahasa sendiri, Jangan sampai bahasa Inggris menggantikan bahasa Indonesia. Jadi seakan-akan maju lebih cepat tapi kehilangan hatinya,” kata Romo Magnis. Ia menyayangkan jika penggunaan Bahasa Indonesia saat ini sudah menurun. Ia beranggapan jika masyarakat merasa tidak pede atau minder jika menggunakan Bahasa Indonesia, berbeda jika menggunakan bahasa asing.
Sementara itu, Pakar Bahasa Mahsun mengatakan bahwa bahasa bukan hanya sekedar sarana komunikasi tetapi juga sebagai jati diri bangsa tersebut.
“Indonesia memiliki 659 bahasa lokal. Bahasa Indonesia ini merupakan benang pengikat yang dapat mempersatukan bangsa,” ujar Guru Besar Universitas Mataram itu. Menurutnya, pemahaman Bahasa Inggris yang hebat juga harus diimbangkan dengan penggunaan Bahasa Indonesia di ruang publik.
Penggunaan istilah asing dalam berbahasa Indonesia seharusnya dihilangkan. Menurut Habib (2011 : 01), cara efektif yang bisa digunakan untuk membangun dan mengembalikan jati diri bangsa Indonesia serta menekan pengaruh buruk pihak lain baik yang berasala dari laur maupun dari dalam yang mengikis jati diri bangsa Indonesia yaitu yang pertama dari diri kita sendiri.
Di dewasa ini, kelima faktor yang disebutkan oleh Mohammad Yamin mungkin sudah luntur termakan zaman. Apakah Sumpah Pemuda hanya slogan-slogan belaka. Pun hanya kita rayakan setiap tanggal 28 Oktober tanpa mengetahui apa arti dibaliknya? Oleh karena itu makna Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa harus kita camkan dalam hati kita masing-masing karena jika bukan kita, sebagai Bangsa Indonesia, siapa lagi yang akan melestarikannya.
Pustaka:
Masaji Perdana Putra
Kelompok 10
05211740000013